Bilangan Imajiner
A. Pendahuluan
Apa yang disebut dengan bilangan imajiner? Apakah ia hanya bilangan yang ada dalam imajinasi, dan tidak memiliki kesesuaian dengan realitas fisis? Sebagian orang mungkin masih mempertanyakan legitimasi dari bilangan imajiner ini. Dewasa ini keberadaan bilangan imajiner sudah tidang asing lagi digunakan. Contohnya:
1. Dalam matematika, khususnya analisis kompleks terdapat berbagai macam penerapan kalkulus terhadap bilangan imajiner. Selain itu dalam dunia matematika secara umum bilangan imajiner ini merupakan bagian terpenting dalam mempelajari deret tak hingga (infinite series) serta sering digunakan dalam berbagai macam model matematika untuk mekanika kuantum
2. Dalam dunia rekayasa, bilangan ini sering digunakan untuk mempelajari perilaku aliran fluida di sekitar objek tertentu
3. Dalam elektromagnetika, bilangan imajiner digunakan dalam pemodelan gelombang
Jadi, bilangan imajiner merupakan peralatan vital di dalam kalkulasi ketika membuat pemodelan. Dari berbagai macam kegunaan bilangan imajiner seperti yang telah disebutkan sebelumnya, baik kegunaan secara teoitis maupun praktis dapat dikatakan bahwa bilangan tersebut tercipta karena bilangan itu dibutuhkan atau karena bilangantersebut adalah peralatan matematika yang sangat dibutuhkan.
Namun demikian untuk semakin memahami makna atas keberadaan bilangan imajiner, berikut ini akan dijelaskan lebih mendetail mengenai asal-usul terbentuknya atau ditemukannya bilangan imajiner itu sendiri.
B. Penemuan dan Pegembangan Bilangan Imajiner
Sejarah penemuan bilangan imaginer (imaginary numbers) dimulai pada tahun 1545 ketika seorang matematikawan berkebangsaan Italia, Girolamo Cardano menerbitkan buku yang berjudul Ars Magna. Pada buku tersebut Cardano menyatakan solusi aljabar terhadap persamaan kubik yang berbentuk untuk pertama kalinya. Persamaan tersebut kemudian dikenal sebagai persamaan kubik umum. Persamaan kubik (cubic equations) itu sendiri telah dipelajari oleh murid-murid Euclide di Alexandria. Archimedes (287 – 212 SM), misalnya, menemukan bahwa ketika sebuah bola dipotong oleh suatu bidang sehingga salah satu bagiannya memiliki volume dua kali bagian yang lainnya, maka cara bola tersebut dipotong mengarah ke persamaan kubik berbentuk : .
Memasuki awal masa Renaissance, para matematikawan Muslim telah banyak mewariskan cara penyelesaian persamaan matematika baik dengan pendekatan aritmetika maupun melalui metode geometris. Namun matematikawan pada masa itu belum mampu untuk mendapatkan solusi aljabar terhadap persamaan kubik. Omar Khayyam (1050 – 1123) memberikan ilustrasi terhadap pemecahan masalah persamaan kubik, namun hanya sampai di akar bilangan positif. Notasi terhadap akar dua bilangan negatif masih terlalu jauh dikonsepsikan mengingat konsep bilangan negatif sendiri masih asing waktu itu, dan penggunaannya dalam matematika masih dicurigai. Para matematikawan di masa itu sepertinya masih sulit untuk menemukan korespondensi bilangan negatif dengan realitas fisis, meskipun secara sistematis penggunaannya dalam matematika telah dipresentasikan oleh Brahmagupta pada tahun 628.
Hingga pada tahun 1494, Luca Pacioli pun mengumumkan bahwa tidak ada solusi aljabar umum terhadap persamaan kubik. Menurut Cardano persamaan kubik itu dapat terselesaikan dengan mereformulaikannya ke dalam persamaan kubik lain yang tidak memiliki suku dengan variabel dikuadratkan atau yang disebut persamaan depressed cubic. Namun pada saat itu, Cardano masih belum mengetahui solusi penyelesaian persamaan tersebut. Orang pertama yang diketahui menemukan solusi aljabar terhadap persamaan depressed cubic adalah Scipio del Ferro (1465-1526), seorang guru besar di University of Bologna, Italia. Namun ia merahasiakan temuan ini selama beberapa waktu, hingga ia memberitahukan temuan itu kepada Antonio Fior di saat menjelang wafatnya.
Untungnya solusi persamaan depressed Cubic telah diketahui oleh teman Cardano yang bernama Niccolo Fontana yang dikenal juga dengan nama Tartaglia (“Si Gagap”), karena bicaranya gagap. Dalam suatu kontes, Nicollo Fontana ditantang oleh Fior untuk memecahkan permasalahan persamaan kubik. Namun diluar dugaan, Tartaglia berhasil memecahkannya dengan solusi yang lebih umum daripada solusi yang diketahui Fior dari alm. Scipio del Ferro. Setelah mengetahui hal tersebut, Cardano pun membujuk Tartaglia agar memberitahukan temuannya itu, lalu Tartaglia pun memberitahukannya dengan syarat agar temuan itu tidak dipublikasikan. Cardano menyetujuinya dan bersumpah tidak akan mempublikasikannya. Namun pada kenyataannya Cardano melanggar janjinya, pada tahun 1543 ia menemukan paper yang ditulis oleh Ferro untuk topik persamaan kubik. Sejak saat itu munculah keinginan dalam dirinya itu untuk memformulasikan penanganan yang lebih lengkap terhadap persamaan kubik umum. Lalu ia pun menuliskan hasilnya dalam bukunya Ars Magna. Dengan upaya ini Cardano dapat menangani persamaan kubik umum melalui koneksi persamaan depressed cubic dan solusinya dari Niccolo Fontana yang ternyata juga telah ditemukan 30 tahun sebelumnya oleh Scipio del Ferro. Formula rahasia ini kemudian disebut formula Ferro-Tartaglia.
Langkah-langkah penanganannya adalah sebagai berikut. Untuk menurunkan persamaan kubik yang berbentuk :
………. (1)
Cardano memulainya dengan mensubstitusikan terhadap persamaan (1), yang menghasilkan bentuk :
………. (2)
Dengan b dan c yang bersesuaian :
Persamaan (2) disebut depressed cubic equation.
Jadi, apabila nilai x pada persamaan depressed cubic ditemukan maka solusi terhadap persamaan kubik umum juga bisa ditemukan. Solusi terhadap persamaan depressed cubic yang didapatkan Cardano dari Tartaglia. Bentuk solusinya adalah :
………. (3)
Dengan formula Ferro-Tartaglia ini, Cardano mendapatkan solusi terhadap persamaan kubik umum.
Pengembangan dari penyelesaian persamaan kubik dengan koneksi persamaan depressed cubic serta formula Ferro-Tartaglia selanjutnya memberi legitimasi bagi posibilitas eksistensi bilangan imajiner. Meskipun problem matematika yang melibatkan akar bilangan negatif sebenarnya sudah disadari sebelumnya, sebagai misal dari persamaan kuadrat yang solusinya . Namun pada masa Cardano konsep bilangan negatif masih diragukan mengingat pada saat itu masih sulit menemukan kesesuaiannya dengan realitas fisis. Sehingga munculnya akar dua dari bilangan negatif menambah keasingan bagi bilangan itu sendiri. Cardano sendiri mengatakan proses matematika dengan melibatkan “mental tortures”, dan ia pun menyimpulkan, “as subtle as it would be useless”. Leibniz sndiri memberikan komentar terhadap bilangan imajiner ini : “an elegant and wonderful resource of the divine intellect, an unnatural birth in the realm of thought, almost an amphibium between being and non-being”.
Pada tahun 1572 Rafael Bombelli kembali menyadari arti penting bilangan imajiner. Dalam buku risalah Aljabarnya, Bombelli menunjukkan perlunya bilangan imajiner dilibatkan sebagai suatu peralatan matematis yang berguna. Bombelli memberikan langkah baru bagi pengembangan bilangan baru ini yang oleh Cardano dianggap “as refined as it is useless”. Bombelli beranggapan bahwa formula Ferro-Tartaglia dapat direformulasi ke dalam bentuk yang melibatkan kuantitas bilangan imajiner, namun dengan jalan berpikir yang disebutnya “wild thought”. Wild Thought ialah apabila persamaan depressed cubic (2) memiliki solusi riil, maka dua bagian x pada persamaan Ferro-Tartaglia (3) bisa diekspresikan dalam bentuk dan , dimana u dan v adalah bilangan riil.
Dari penjelasan tersebut, muncul suatu pertanyaan kritis yakni menenai relevansi “wild thought” terhadap matematika. John H. Mathews dan Russell W. Howell memberikan ilustrasi langkah berpikir Bombelli melalui contoh berikut ini.
Persamaan depressed cubic yang mempunyai b = -15 dan c = -4. Dengan menerapkan formula Ferro-Tartaglia, didapatkan atau dalam ekspresi lain . Dengan menyelesaikannya melalui “wild thought” Bombelli menunjukkan bahwa dan . Apabila kedua ruas dipangkatkan tiga menghasilkan dan . Kemudian, dengan menerapkan identitas aljabar :
untuk dan . Hasilnya :
Hal yang sama juga dilakukan untuk bagian x lainnya yaitu . Pada persamaan tersebut tampak pemikiran Bombelli bahwa dan . Bombelli kembali berpendapat bahwa u dan v haruslah bilangan bulat, dan karena faktor bilangan bulat dari 2 hanya 2 dan 1, maka . Maka ia menyimpulkan bahwa dan yang diikuti dengan atau . Nilai u dan v yang memenuhi adalah u = 2 dan v = 1.
Selanjutnya dengan memasukan nilai u dan v didapatkan nilai x, yaitu x = 4. Jadi, proses pengeluaran quantitas riil v dari kuantitas akar bilangan negatif serta dengan menempatkan quantitas akar dua dari negatif satu di dalam formula itu dipandang oleh Bombelli sebagai “wild thought”.
Untuk sampai kepada solusi riil ini Bombelli berfikir melalui teritorial bilangan imajiner yang belum pernah terpetakan sebelumnya. Sayangnya, trik berpikir ini tidak berlaku umum untuk semua persamaan kubik, tetapi hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu saja. Dalam risalah Aljabarnya, Bombelli menulis, “…and I too for a long time was of the same opinion. The whole matter seemed to rest on sophistry rather than on truth. Yet I sought so long, until I actually proved this to be the case“.
1. Representasi Geometris dan Aljabar Bilangan Imajiner
Pikiran liar Bombelli merangsang orang dalam beberapa dekade berikutnya untuk mulai memercayai keberadaan bilangan imajiner, dan sebagian ahli matematika berupaya agar keberadaannya menjadi lebih jelas, lebih dimengerti dan diterima. Salah satu cara agar keberadaannya diterima dengan mudah adalah dengan menyatakannya dalam bentuk grafik dua dimensi. Dalam kasus ini, sumbu x adalah untuk bilangan riil, dan sumbu y untuk bilangan imajiner.
Ide pertama untuk menyatakan bilangan kompleks dalam bentuk geometris bersumber dari John Wallis pada tahun 1673. Sayangnya ekspresi geometris awal terhadap bilangan kompleks mengarah ke konsekuensi yang tidak diharapkan, yaitu dinyatakan pada titik yang sama dengan . Namun setidaknya representasi geometris ini memberikan konsepsi baru terhadap bilangan kompleks sebagai “titik pada bidang.” Upaya ini kemudian diteruskan oleh Caspar Wessel, Abbe Buee dan Jean Robert Argand.
Pada tahun 1732, matematikawan berkebangsaan Swiss, Leonhard Euler mengadopsi gagasan representasi geometris untuk solusi persamaan berbentuk dan menyatakannya dalam bentuk . Euler juga adalah orang pertama yang menggunakan simbol i untuk . Di sisi lain, dalam risalahnya Euler menulis, “…for we may assert that they are neither nothing, not greater than nothing, nor less than nothing, which necessarily renders them imaginary or impossible“.
Jelasnya, setelah ia memperlakukan bilangan imajiner secara matematis dan formal, dan menunjukan bahwa i atau bilangan imajiner memunyai validitas matematis. Pada akhirnya harus ia katakan bahwa eksistensi i atau bilangan imajiner dalam realitas adalah impossible, atau paling tidak “mental reality” belum mampu meletakan status ontologisnya. Dua matematikawan lain yang turut memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan bilangan imajiner adalah Augustin-Louis Cauchy (1789—1857) dan Carl Friedrich Gauss (1777 – 1855). Cauchy menemukan beberapa teorema penting dalam bilangan kompleks, sedangkan Gauss menggunakan bilangan kompleks sebagai peralatan penting dalam pembuktian teorema fundamental dalam aljabar, yaitu terbukti bahwa melalui bilangan kompleks, terdapat solusi untuk setiap persamaan polinomial berderajat n. Dalam paper yang dikeluarkan tahun 1831, Gauss menyatakan representasi geometris untuk bilangan kompleks x + iy dengan titik (x, y) dalam bidang kordinat. Ia juga menjelaskan operasi-operasi aritmetika dengan bilangan kompleks ini.
Atas dasar usaha Gauss, bilangan kompleks mulai disadari legitimasinya. Sebagian ahli matematika meyakini keberadaan bilangan kompleks dan berusaha memahaminya, sebagian yang lain tidak, dan sebagian lagi meragukannya. Pada tahun 1833 William Rowan Hamilton menyatakan bilangan kompleks sebagai pasangan bilangan (a, b). Kendati kelihatannya hanya sebuah ekspresi lain alih-alih a + ib, dengan maksud agar lebih mudah ditangani melalui aritmetika. Usaha ini memicu Karl Weierstrass, Hermann Schwarz, Richard Dedekind, Otto Holder, Henri Poincare, Eduard Study, dan Sir Frank Macfarlane Burnet untuk merumuskan teori umum tentang bilangan kompleks. Dan atas upaya August Möbius aplikasi bilangan kompleks ke dalam geometri menjadi lebih jelas bentuk-bentuk formula transformasinya.
2. Genuine Logical Problems
Pada tahun 1831 Augustus DeMorgan berkomentar dalam bukunya, On the Study and Difficulties of Mathematics, “We have shown the symbol √(-1) to be void of meaning, or rather self-contradictory and absurd. Nevertheless, by means of such symbols, a part of algebra is established which is of great utility“. Dari sudut pandang ilmu logika, terdapat kontradiksi semisal identitas apabila diterapkan terhadap bilangan kompleks mengarah ke : . Masalahnya adalah (-1)(-1) = 1 dan . Tetapi . Jadi identitas tidak berlaku ketika a dan b adalah bilangan negatif. Di sisi lain notasi bilangan imajiner mengarah ke classic fallacy, sebagai contoh Philip Spencer memberikan 10 langkah pembuktian falasi 1=2 berkaitan dengan notasi bilangan imajiner ini :
Dilihat dari sejarah penemuan dan pengembangan bilangan imajiner, dan juga dari permasalahan logika di atas, notasi bilangan imajiner memegang peranan penting sebagai peralatan matematis dalam persoalan persamaan polinomial. Hal ini sebagaimana dikukuhkan oleh Gauss melalui teorema fundamental aljabar. Tetapi seperti yang dicatat Euler dan diperlihatkan oleh deMorgan, ia belum terlihat sebagai objek matematika dengan status ontologis yang jelas.
C. Sekilas tentang Girolamo Cardano
Girolamo Cardano merupakan tokoh penting di dalam proses penemuan dan pengembangan bilangan imajiner. Selain dikenal sebagai matematikawan, Cardano juga dikenal sebagai fisikawan dan astrologer yang bekerja kepada para pembesar Eropa. Ia juga dikenal sebagai penjudi yang senang melakukan perjalanan jauh dan pesta-pora. Namun di tengah-tengah kesibukannya itu, karier matematika Cardano jauh lebih cemerlang sebagai aktor utama matematika pada masa Renaissance. Di sisi lain, ia telah memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan awal ilmu probabilitas. Atas dasar kontribusi ini, ia dianggap sebagai Bapak Ilmu Probabilitas. Selain De Vita Properia Liber yang berisi risalah ilmu probabilitas, ia juga menulis Ars Magna (Seni Agung). Di buku Ars Magna inilah Cardano mulai menyadari posibilitas dari keberadaan bilangan imajiner yang pertama kali muncul sebagai efek dari pengembangan penyelesaian persamaan kubik sebelumnya.